Tiga Kiai Pelacur
(dikutip dari sufiNews)
Kyai Khoiron, sudah populer sebagai kiainya para
pelacur di Surabaya. Sehari-hari ia menjadi guru
ngaji, konsultasn psikhologi dan bapak, kakak, sahabat
yang sangat akrab dengan gemuruh jiwa para pelacur
yang bergolak. Dua puluh tahun silam, diam-diam ia
dirikan sebuah pesantren di komplek pelacuran terbesar
di Surabaya. Dan saat ini ada tujuh ratus anak-anak
pelacur itu nyantri di pesantrennya.
Jika senja mulai tiba, gincu-gincu mengoles bibir para
pelacur itu, dengan segala sapaan manja pada hidung
belang, sementara suara musik keras mendentang
memenuhi komplek pelacuran itu, di sudut komplek
pelacuran itu terdengar suara bocah-bocah mengaji,
meneriakkan halawat Nabi dan berzanji. Keduanya
berjalan damai.
"Saya tidak pernah melarang mereka melacur. Saya juga
tidak memarahi mereka. Saya hanya menyiapkan ruang
jiwa mereka. Sebab mereka melacur paling lama sepuluh
tahun. Setelah itu? Mereka pasti berhenti. Mereka perlu
kesiapan mental, keimanan dan sikap optimis kepada
Tuhan," katanya.
"Pesantren anda ini?"
"Memang, pesantren ini saya konsentrasikan untuk
membina anak-anak mereka yang tak berdosa. Mereka
harus tumbuh dengan jiwa yang merdeka, tanpa konflik,
tanpa masa lalu dan trauma-trauma."
***
Lain lagi dengan seorang Kiai di dekat kota Madiun.
Kiai Madun, sudah dikenal sebagai seorang kiai
Thariqat dengan jama'ah ribuan. Suatu hari ia tertimpa
gejala psikhologi yang begitu aneh: Rasa takut mati
yang berlebihan. Selama enam bulan ia terus menerus
menangis, seakan-akan Malaikat Maut membuntutinya. Ia
juga heran kenapa harus takut mati?
Saking takutnya, Kiai Madun mendatangi guru
Mursyidnya. Dengan serta merta gurunya menyambut
dengan sambutan yang cukup kontroversial. "Soal
penyakitmu itu gampang obatnya. Mulai besok kamu pergi
saja setiap hari ke komplek pelacuran!"
"Bagaimana pak Kiai ini, kok saya malah harus
main-main dengan pelacur. Apakah ini tidak
bertentangan dengan syari'at?" kata Kiai Madun dalam
hatinya. Belum sempat ia meneruskan fantasinya,
gurunya sudah memotong:
"Dun!, Lihatlah mulutku ini!"
Begitu melihat mulut gurunya, yang tampak adalah
lautan luas tak bertepi. Kyai Madun hanya terperangah.
Diam-diam ia menyesal. Kenapa soal-soal hakikat
kehidupan harus ia pertanyakan lewat syariat kepada
gurunya? Diam-diam pula hatinya menangis. Tapi juga
muncul rasa ngeri, kenapa harus main-main dengan
pelacur?
Tapi Kyai Madun tidak mau membantah perintah gurunya.
Pagi-pagi Kiai ini sudah menghilang dari rumahnya. Ia
cari komplek pelacuran yang jauh dari daerahnya.
"Jalan penyembuhan" ini ia lakukan hampir setiap hari,
sampai pelacur seluruh komplek itu kenal benar dengan
Kyai Madun. Bahkan kadang, seharian penuh ia berada di
tengah para perempuan penghibur itu, sambil
mengingat-ingat, apakah rahasia dibalik perintah
gurunya itu.
Suatu pagi, ketika ia datang ke komplek langganannya,
tiba-tiba ada kakek-kakek tua, baru saja keluar dari
sebuah kamar pelacur. Ia sangat kaget, melihat kakek
yang sudah uzur, dan mendekati ajal itu, masih sempat
ke komplek pelacuran. Bahkan dengan wajah berseri,
riang gembira, layaknya anak muda, sang kakek penuh
percaya diri layaknya anak muda.
"Iya, ya. Kakek ini sudah tua renta, kok tidak takut
mati. Bahkan ia jalani kehidupan tanpa beban. Saya
yang masih muda kok takut mati. Kualitas iman macam
apa yang saya miliki ini?" katanya Kiai Madun dalalam
hati.
Dengan wajah terangguk-angguk, Kiai Madun merasa
mendapat pelajaran dari Kakek tua renta itu. Dan
seketika pula rasa takut matinya hilang begitu saja.
Sembuh!
***
Lain lagi dengan Kyai Marwan, dari Nganjuk. Kiai ini
sudah hampir mendekati lima puluh tahun usianya,
tetapi masih membujang. Keinginan untuk konsentrasi
sebagai Kyai tanpa menghiraukan urusan dunia termasuk
wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal
kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik
setiap hari. Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti
yang meneruskan pesantrennya kalau ia tidak punya
putra?
Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan
gemuruh jiwanya, akhirnya Kiai Marwan istikhoroh,
mohon petunjuk kepada Allah, siapa sesungguhnya wanita
yang menjadi jodohnya?
Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar
Kyai Marwan mendatangi sebuah komplek pelacuran
terkenal di daerahnya. "Disanalah jodoh anda nanti."
kata suara dalam istikhoroh itu.
Tentu saja Kyai Marwan menangis tak habis-habisnya,
setengah memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh
dengan seorang pelacur? Bagaimana kata para santri dan
masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu Nyainya justru
seorang pelacur? "Ya Allah.! Apakah tidak ada
perempuan lain di dunia ini?"
Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang
mambuk, Kyai Marwan nekad pergi ke komplek pelacuran
itu. Peluhnya membasahi seluruh tubuhnya, dan
jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah
warung dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan
luar biasa, ia memandang seluruh wajah pelacur di
sana, sembari menduga-duga, siapa diantara mereka yang
menjadi jodohnya.
Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang
perempuan muda yang cantik, berjilbab, menenteng kopor
besar, memasuki warung yang sama, dan duduk di dekat
Kyai Marwan. "Masya Allah, apa tidak salah perempuan
cantik ini masuk ke warung ini?" kata benaknya.
"Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari?
Apa Mbak tidak salah alamat?" tanya Kyai Marwan pada
perempuan itu.
Perempuan itu hanya menundukkan mudanya. Lama-lama
butiran airmatanya mulai mengembang dan menggores
pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong, perempuan
itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat
pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat
dari rumah orang tuanya, memang sengaja ingin menjadi
pelacur, gara-gara ia dijodohkan paksa dengan pria
yang tidak dicintainya.
"Masya Allah..Masya Allah.Mbak.. Begini saja Mbak,
Mbak ikut saya saja. ." kata Kiai Marwan, sambil
mengisahkan dirinya sendiri, kenapa ia pun juga sampai
ke tempat pelacuran itu. Dan tanpa mereka sadari,
kedua makhluk itu sepakat untuk berjodoh.
Tiga Kiai tersebut, sesungguhnya merupakan refleksi
dari rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih
terbuka dari dunia Sufi. Kiai Khoiron yang menjadi
kiai para pelacur, sesungguhnya wujud dari kemerdekaan
Sufistik pada kepribadian seseorang yang berani
menerobos dinding-dinding verbalisme kultur agama,
sebagaimana misteri Kyai Madun, yang harus sembuh di
komplek pelacuran. Juga nasib bidadari yang ditemukan
Kiai Marwan di komplek pelacuran itu. Semuanya
menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia
keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa
harus ditimbang oleh fakta-fakta normatif sosial yang
terkadang malah menjebak moral seorang hamba Allah.
Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering
mempertaruhkan harga dirinya di depan pendukungnya,
ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di depan Allah.
Dan begitulah cara Allah menyindir para Kiai, dengan
menampilkan tiga Kiai Pelacur itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar