Selasa, 27 Januari 2009

Pelajaran Maaf dari Sang Pengantar Air



Hal yang sangat rawan hidup di kawasan perkotaan Surabaya saat ini
adalah masalah air bersih, terutama untuk minum dan masak. Menggunakan
air PDAM untuk keperluan itu masih harus berpikir seribu kali, kecuali
saya tidak lagi berpikir soal kesehatan keluarga sepuluh dua puluh tahun
ke depan. Betapa tidak! Jika menggunakan air pemerintah itu, sebulan
saja bak mandi tidak dibersihkan, endapan kotoran di dasar dan
dindingnya cukup untuk mengisi ulang pasta gigi kita yang habis. Itu
kalau putih, lha kalau hitam?

Oleh karena itu, saya berlangganan air bersih isi ulang yang didatangkan
dari kawasan pegunungan Prigen, Pandaan. Setidaknya demikianlah yang
saya pernah baca di punggung tangki air yang memasok toko air isi ulang
langganan saya. Sedangkan air PDAM hanya saya gunakan untuk keperluan
MCK dan menyiram halaman atau tanaman di depan rumah.
Harga air isi ulang yang belum dimasak Rp 1.500,- per galon, lebih murah
seribu rupiah daripada yang sudah dimasak. Sebulan biasanya kami
menghabiskan 8-12 galon dalam 2-3 kali pemesanan. Ditambah ongkos kirim
ke rumah Rp 500,- per galon, maka jadilah per bulan saya keluar duit
sekitar Rp 16.000,- s.d. 24.000,- untuk membeli air bersih isi ulang
ini. Tentu saja sangat murah jika dibandingkan dengan kesehatan badan
jika sedang terkena ujian sakit.

Tak terasa, hal demikian sudah berlangsung hampir 2,5 tahun sejak kami
tinggal di Surabaya ini. Bagi saya, pemandangan ini menjadi rutinitas
biasa yang sama sekali lepas dari pengamatan saya, hingga pada suatu
hari, pengantar air isi ulang langganan keluarga saya itu datang ke
rumah. Ia memang sedang mengantar 4 galon air pesanan istri saya seperti
biasa. Saya sendiri sedang di kantor. Seperti biasa pula, Mbak Mis,
khadimah kami di rumah mengawasi pemuda pengantar air itu membawa 4
galon air ke ruang dapur, menukarnya dengan 4 buah galon kosong,
memberikan uang pembelian air, dan menerima kuitansinya. Yang tidak
biasa, ia minta bertemu dengan istri saya. Istri saya pun dengan penuh
tanda tanya keluar menemui pemuda itu.

"Ada apa, Mas?" tanya istri saya keheranan.
"Begini, Bu. Mungkin, ini terakhir kali saya mengantar air ke rumah
Ibu," kata pemuda itu.
"Lho, memangnya kenapa? Apa mau kerja di tempat lain?" selidik istri
saya.
"Nggak, Bu. Saya berencana untuk mondok di pesantren. Mau mengaji, Bu,"
katanya terus terang.
"Oh, ya bagus sekali itu," jawab istri saya surprised. "Lantas, ada apa
pengin menemui saya?"
"Emm, saya pengin minta maaf, Bu. Barangkali selama saya mengantar air
ke tempat ini ada salah terhadap Ibu dan keluarga di sini."

Masih dengan suara bergetar istri saya menceritakan kejadian itu
malamnya kepada saya. Betapa seorang yang tidak pernah kita
perhitungkan, bahkan cenderung kita lupakan, masih memiliki pribadi yang
begitu rendah hati. Meminta maaf adalah soal gampang. Sekarang bahkan
lewat SMS saja bisa. Tetapi, pemuda pengantar air ini saya bayangkan
mendatangi pelanggannya satu demi satu untuk berpamitan dan sekaligus
meminta maaf. Subhanallah!

Saya lalu seperti tiba-tiba teringat pada pemuda itu. Ia kecil, setengah
kerempeng. Tingginya sekitar 165 cm. Sederhana, setidaknya cara dia
berpakaian. Tipikal pemuda desa. Umurnya mungkin baru 22 tahunan. Rambut
ikal. Warna kulit cenderung coklat sawo matang. Bentuk mukanya agak
kotak seperti vas bunga dua dimensi. Nah suatu pagi beberapa bulan
silam, pemuda itu mengantar air ke rumah, pesanan istri saya. Entah
mengapa, motor roda tiga pengangkut airnya menyenggol mobil milik kantor
yang saya parkir di luar rumah. Saya bergegas ke depan rumah dan
menemukan pemuda itu sedang menatap mobil saya dengan muka pasi.
Lumayan. Pada body belakang di atas roda kiri mobil itu ada bekas
goresan cukup dalam memanjang sekitar 20 cm.
"Maaf, tergores, Pak!" katanya dengan nada penuh penyesalan.
"Wah, gimana Anda ini?" hardik saya sambil memperhatikan goresan itu.
Tidak cukup kalau hanya didempul atau ditutupi dengan Kit penutup
goresan. "Anda harus bertanggung jawab!"
Ia tampak bingung. "Maksud Bapak gimana?"
"Ini mobil kantor, Mas, bukan mobil saya. Tolong dimasukkan bengkel,"
pinta saya. "Setahu saya, mengecat satu bagian body itu bisa habis 500
ribu."
Ia tercengang. "Lima ratus ribu, Pak?"
"Ya," jawab saya tanpa mengurangi volume suara. "Kecuali mobil ini
diasuransikan oleh kantor. Saya mesti tanya dulu. Biasanya untuk bayar
klaim 100 ribu jika ditanggung asuransi."
Pemuda itu seperti linglung. Syukurlah saya masih sempat terpikir,
barangkali duit seratus ribu itu besar buatnya.
"Sudahlah," kata saya akhirnya. "Siapkan saja 100 ribu. Mudah-mudahan
mobil ini ditanggung asuransi. Nanti saya kabari ke toko."
"Ya, Pak. Tapi saya butuh waktu untuk menyediakan uang itu,"katanya
menawar.

Begitulah kejadian itu seketika saya ingat kembali. Waktu itu
pertimbangan saya sih agar ia bertanggung jawab dan di waktu mendatang
lebih berhati-hati lagi membawa motor roda tiganya. Tetapi, hari ini,
ketika ia baru saja berpamitan siang tadi, saya seperti dipaksa berpikir
kembali. Jika saja dalam sehari ia bisa mengirim 10 galon air, maka jika
sebulan ia masuk 22 hari, ia bisa mengirim 220 galon air. Itu setara
dengan uang kira-kira Rp 550.000,- yang disetorkan ke pemilik toko. Jika
ia mendapat insentif 20% dari uang hasil penjualan air itu, maka ia
sebulan akan mendapat Rp 110.000,- saja. Andai ia menerima gaji secara
persentase tergantung dari banyaknya galon air yang berhasil ia jual,
maka ia hanya akan mendapat 110.000 sampai 150.000 sebulan barangkali.
Jika ia harus makan 3x sehari @Rp 1.500,- maka untuk makan saja sebulan
perlu Rp 135.000,- Katakanlah ia puasa Senin-Kamis, maka sebulan ia
makan sekitar 22 hari. Itu menghabiskan Rp 99.000,- Jika ia tidak punya
keperluan selain itu, maka sebulan ia bisa menyisihkan barang 30 ribu.
Itu berarti ia harus mengumpulkan 3-4 bulan sisa gajinya untuk membayar
klaim asuransi mobil saya yang tergores tempo hari! Untuk itupun, ia
harus berpuasa Senin-Kamis.


Saya jadi lemes. Rasanya sangat berdosa membebankan pada seseorang yang
santun seperti dia sesuatu yang bagi saya mungkin tak seberapa, tetapi
baginya sangat besar. Meski untuk tujuan baik sekalipun.
Bersama istri saya sepakat untuk mengembalikan uang seratus ribunya itu.
Mudah-mudahan ia belum keburu pergi. Dan hati saya semakin merasa
bersalah saja, karena sampai detik ini, saya bahkan belum tahu siapa
namanya.
Moga Allah mengampuni saya.

Surabaya, 18 Nopember 2005
Penulis Ketua FLP Jatim 2004-2006

Tidak ada komentar:

Infolinks In Text Ads

INVESTASI RINGAN DUNIA DAN AKHIRAT's Fan Box

Add to Technorati Favorites

Web Site Counter
Canon printers

Add to Technorati Favorites Add to Technorati Favorites